Untuk memulai segala sesuatu, pasti ada pendahuluannya. Waktu tadi
browsing, saya menemukan artikel tentang Sejarah Fotografi. Lumayan juga
untuk menambah ilmu, sambil belajar juga. Dimohon kesabarannya untuk
membaca karena lumayan panjang juga artikelnya. Selamat menikmati..
Istilah ‘fotografi’ berasal dari dua kata “foto” dan “grafi” yang
dalam bahasa Yunani, foto berarti cahaya dan grafi berarti menulis atau
melukis, sehingga “fotografi” dapat diartikan sebagai “melukis dengan
cahaya”. Dalam fotografi, kehadiran cahaya adalah mutlak perlu, karena
mulai dari pemotretan hingga pencetakan film menjadi foto, kedua-duanya
membutuhkan cahaya. Menurut catatan sejarah, asal muasal fotografi
“ditemukan” secara kebetulan oleh Ibn Al Haitam pada abad ke-10, bahwa
pada salah satu dinding tendanya terlihat suatu gambar, yang setelah
diselidiki ternyata berasal dari sebuah lubang kecil pada dinding tenda
yang berhadapan di dalam tendanya itu. Ternyata pula bahwa gambar
tersebut sama dengan pemandangan yang berada di luar tenda, hanya
posisinya terjungkir balik, pohon-pohon kurma dengan daun-daunnya berada
di bawah, sedangkan badan/batang dan tanah berada di atas (hal ini
kemudian diketahui berdasarkan cahaya selalu melintas lurus, sesuai ilmu
alam).
Pada abad ke-13, Roger Bacon juga ‘memergoki’ hal serupa di ruang kerjanya; namun baru pada abd ke-15, Leonardo da Vinci memanfaatkan fenomena alam tersebut untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat. Ciptaannya yang terkenal adalah CAMERA OBSCURA (camera=kamar ; obscura=gelap), merupakan cikla bakal kamera yang kita kenal sekarang (penyebutan ‘kamera’ berarti kamera-foto, kamera untuk membuat foto/memotret), tetapi di saat itu, camera obscura betul-betul berupa sebuah kamar gelap dengan salah satu dindingnya dibuatkan sebuah lubang kecil, kemudian di tengah ruang didirikan “dinding” lain dari kertas setengah tembus cahaya untuk menampung gambaran yang tercipta dan berasal dari lubang kecil tersebut, untuk kemudian dijiplak dengan menggunakan alat tulis. Dari kamar gelap tersebut, kemudian diciptakan “kamar gelap” miniatur yang lebih praktis. Pada bagian yang berlubang ditambahkan sebuah lensa, di bagian dalam dipasangkan selembar cermin dengan posisi 45 derajat untuk memantulkan gambaran yang tercipta oleh lensa ke arah atas yang ditutupi selembar kaca bening. Penjiplakan gambar menjadi lebih praktis, juga berkat dipergunakannya sebuah lensa, gambar yang terbentuk menjadi lebih kecil dari wujud aslinya, malah dengan memaju-mundurkan posisi lensa, ketajaman gambar dapat diatur sesuai jarak sasaran terhadap “kamar gelap” tersebut.
Kamera lubang jarum dan daguerrotype Perkembangan lain dari camera obscura yang diminiaturkan adalah kamera lubang jarum (pinhole camera). Kamera ini berupa sebuah kotak dengan salah satu dindingnya dilubangi, dan pada dinding seberangnya dipasangkan kaca buram untuk melihat gambar yang terbentu. Kemudian lubang tersebut dipasangkan sebuah lensa untuk meningkatkan mutu gambar. Dengan hanya berpegang pada fenomena alam, fotografi takkan mencapai tujuan.
Berkat penemuan Heinrich Schulze (1727) mengenai bahan-bahan
tertentu, misalnya garam perak yang peka terhadap cahaya, dan warnanya
yang semula putih dapat berubah menjadi hitam bila terkena cahaya,
fotografi mulai menapak ke arah yang dituju. Thomas Wedgwood (1802)
menemukan juga hal serupa, namun kedua-duanya tidak berhasil menjadikan
perubahan warna tersebut permanen. Baru pada tahun 1826, Joseph
Nicephore Niepce berhasil menjadikan warna hitam itu permanen, ia
berhasil membuat semacam klise di atas lembaran timah dengan cara
mencelupkan lembaran timah tersebut, yang sebelumnya telah dilaburi
bahan peka cahaya dan telah dicahayai, ke dalam larutan asam; namun ia
tak sempat melakukan percobaan lebih lanjut karena sakit dan kekurangan
biaya. Berkat persahabatannya dengan Louis Daguerre, seorang pelukis
yang kaya raya, beberapa percobaannya kemudian dilanjutkan, malah
akhirnya diteruskan oleh Daguerre sendiri setelah Niepce meninggal
dunia. Selama 11 tahun Louis Daguerre melakukan percobaan-percobaan
lanjutan, akhirnya pada tahun 1839, dengan mempergunakan bahan-bahan
kimia yang tidak pernah dicoba oleh Niepce,
Daguerre berhasil membuat bahan peka cahaya yang lebih praktis dan
dikenal sebagai Daguerrotype, suatu pelat tembaga yang pada satu
permukaannya dilaburi bahan peka cahaya. Daguerrotype ini berfungsi
sebagai filem dan sekaligus menjadi foto-jadi. Pembuatan daguerrotype
ini cukup rumit. Mula-mula pelat tembaga dilapisi perak pada salah satu
sisinya, kemudian digosok sedemikian rupa, sehingga terlihat seperti
cermin, baru setelah itu permukaannya dilaburi bahan kimia peka cahaya.
Bahan kimia tersebut tidak eprnah kering benar, dan dalam pemakaian, ia
langsung dipasangkan pada kamera dikamar gelap. Setelah pelat
tercahayai, lalu dikembangkan dengan cara diberi uap merkuri yang sedang
mendidih, sampai gambarnya timbul. Untuk menjadikan gambarnya permanen,
pelat tersebut dicelupkan ke dalam larutan hipo, lalu dicuci dengan
air. Karena permukaannya yang menyerupai cermin, daguerrotype ini sulit
untuk dipandang dari depan. Kemengkilapannya menyebabkan setiap orang
yang memandanginya akan terlihat dirinya pula, ‘berimpitan’ dengan
gambar/foto yang dilihatnya. Maka untuk dapat melihatnya dengan baik,
harus dari arah agak pinggir, misalnya dari sudut 60-70 derajat. Ada
kalanya yang terlihat berupa gambaran negatif, karena pengaruh semacam
polarisasi. Permukaan ‘foto’ senantiasa agak lembab, maka foto-foto
daguerrotypeharus dilindungi dengan bingkai kaca. Kendala lain adalah kepekaannya amat rendah, sehingga dibutuhkan pencahayaan maha panjang antara 20-40 detik, di kala cuaca amat cerah. Popularitas film daguerrotype ini berlangsung sekitar 15 tahun (1839-1854).
Di saat Joseph Nicephore Niepce dan Louis Jacques Mande Daguerre
melakukan experimen, Fox Talbot dengan pikirannya yang lebih maju sudah
mengetahui hubungan negatif-positif. Ia menggunakan bahan kertas untuk
dijadikan media peka cahaya yang kemudian menghasilkan gambaran negatif,
diberi nama Talbotype (1835). Dari negatif tersebut kemudian dilakukan
pencetakan ke atas kertas peka cahaya juga. Namun upaya Talbot tertumbuk
pada kenyataan, hasil cetakannya itu tak bisa tajam, malah gambarnya
menjadi kabur. Beberapa ahli mengetahui, bahwa seharusnya negatif hasil
pemotretan terbuat daripada kaca yang bening, sehingga cetakan foto yang
tajam dapat terwujud.
Namun belum ditemukan bahan yang dapat menempelkan bahan-bahan kimia
peka cahaya ke atas permukaan kaca. Pernah diciptakan lem dari kuku,
juga diketahui bahwa putih telur dapat berfungsi sebagai lem terhadap
kaca, namun kedua-duanya tidak dapat dipergunakan. Pada tahun 1850,
Scott Archer, seorang pemahat, menciptakan metode yang diberi nama
‘collodian’, disebut juga sebagai ‘proses pelat basah’. Ia menerapkan
suatu cara dengan melaburi kaca dengan suatu campuran kimia, yang
setelah mengering membentuk lapisan film, menyerupai kulit. Film
collodian ini diberi emulsi dengan cara dicelupkan ke dalam larutan
kimia peka cahaya. Hal yang merepotkan, bahwa film ini harus dipakai
untuk memotret dalam keadaan basah, langsung dimasukkan ke dalam kamera.
Lalu setelah tercahayai, segera harus dikembangkan, karena bila
bahan-bahan kimianya sudah mengering, ia akan kehilangan kepekaan
terhadap cahaya. Pada saat yang hampir bersamaan, lahir juga variasi
lain dari proses collodian, ialan ambrotype. Film ini terbuat juga dari
kaca, dan diberi selaput dengan emulsi collodian.
Dalam pencahayaan sengaja dibuat tercahayai kurang, agar gambaran
yang terbentuk akan amat pucat. Gambaran ini bila dilihat di atas
permukaan yang putih akan tampil sebagai negatif yang tercahayai kurang,
sedangkan bila dilihat dengan latar belakang yang hitam, gambarannya
akan tampil menjadi gambar positif yang memadai. Karena pengerjaannya
lebih mudah dan harganya lebih murah, ambrotype secara berangsur-angsur
menggantikan daguerrotype. Pada tahun 1870-an lahir tintype, suatu
variasi lain dari ambrotype. Perbedaannya adalah tintype terbuat dari
timah, bukan kaca. Karena dasarnya timah, maka bagian yang seharusnya
putih berubah menjadi keabu-abuan dan kecemerlangannya hilang, baik
dibandingkan dengan daguerrotype maupun ambrotype. Harga tintype lebih
murah daripada ambrotype, merupakan konsumsi masyarakat kebanyakan.
Masih berdasar pada proses collodian, terdapat jugavariasi lain, ialah
carte-de-visite, jenis ini menggunakan negatif kaca. Film ini lebih
cocok dipakai pada kamera berlensa banyak, misalnya enam atau delapan
buah, sehingga sekali potret akan diperoleh banyak foto. Maka dari itu
variasi ini disebut “carte-de-visite” yang artinya kira-kira “kartu
perkenalan”. Negatif kaca tersebut dapat dicetak berulang-ulang.
Sejak daguerrotype hingga carte-de-visite, semuanya mengharuskan
pemotretnya atau pemotretan berdekatan dengan kamar gelap, sebag
pelat-pelat peka cahaya tersebut harus dilaburi emulsi dan diproses pada
lokasi sekitar atau berdekatan dengan lokasi pemotretan. Baru kemudian
setelah ditemukan sistem pembuatan pelat kering oleh George Eastman pada
tahun 1880, fotografi memasuki era baru. Dasar pertama untuk menjadikan
kering pelat basah adalah dengan menyelaputi permukaan kaca dengan
gelatin yang mengandung emulsi foto (bahan peka cahaya). Dengan
demikian, kemudian pelat-pelat kaca beremulsi dapat dijual kepada
konsumen foto. Pemrosesan pelat yang telah tercahayai tidak harus segera
pula, melainkan boleh dilakukan kapan saja.
Era Baru Fotografi George Eastman, pendiri perusahaan Kodak Eastman
Company, semula adalah karyawan bank. Berkat temuannya berupa pelat
kering pada tahun 1880, fotografi menjadi lebih praktis, dan
perkembangan fotografi beralih dari daratan Eropa ke Amerika. Pelat
kering yang terbuat dari kaca, akhirnya disadari kurang praktis juga,
karena dalam perjalanan bisa pecah, juga dalam jumlah banyak meurpakan
beban, di samping makan tempat juga cukup berat. Maka pada tahun 1885
lahir film rol pertama, dan sejak saat itu nama “Kodak” mulai
diperkenalkan. Film rol pertama itu tidak sama dengan film rol yang kita
kenal sekarang. Film tersebut terdiri dari dua lapis : gelatin
beremulsi dan bahan dasar kertas. Selain itu film setelah tercahayai,
harus dikirim ke lab Kodak untuk diproses.
Dalam pengembangannya berlangsung seperti biasa, hanya setelah
selesai, lapisan gelatin bermulsi yang telah mengandung gambar harus
dilepas, dipisahkan dari kertas, negatifnya masih tetap berupa negatif
kaca juga. Namun dengan film rol yang dinamakan ‘paper film’ itu, para
pemotret tidak dibebani seperti pada zaman pelat basah. Kamera modern
pertama di dunia, Kodak No.1, lahir pada tahun 1888. kamera ini dapat
diisi dengan film rol untuk 100 bidikan. Dalam praktek terdapat suatu
kendala, karena film harus diisi dan dikeluarkan di lab Kodak, yang
berarti kamera pemakai harus berulang kali masuk keluar lab Kodak bila
hendak dipakai
memotret. Kamera Kodak No.1 itu walaupun masih besar bila dibandingkan dengan kamera-kamera yang lahir kemudian, tetapi di saat itu sudah terbilang ringkas dan bisa bebas dari keharusan menggunakan kakitiga, yang merupakan pelengkap bawaan dan harus senantiasa menempel pada kamera.
memotret. Kamera Kodak No.1 itu walaupun masih besar bila dibandingkan dengan kamera-kamera yang lahir kemudian, tetapi di saat itu sudah terbilang ringkas dan bisa bebas dari keharusan menggunakan kakitiga, yang merupakan pelengkap bawaan dan harus senantiasa menempel pada kamera.
Pada tahun 1889, Kodak memperkenalkan film rol baru yang lebih
lentur, dan sudah seperti film yang kita kenal sekarang. Maka sejak saat
itu mulai diproduksi film-film rl panjang untuk kebutuhan
sinematografi. Kelemahan pada film Kodak waktu itu adalah sukarnya
dipeorleh permukaan yang rata, terutama pada lembaran-lembaran yang agak
besar. Baru kemudian, pada tahun 1913 film lembaran (sheet film) dengan
mutu yang lebih sempurna berhasil dibuat. Maka sejak saat itu,
pelat-pelat kaca dan film-film berstruktur primitif secara
berangsur-angsur digantikan dengan produk penemuan-penemuan baru dengan
struktur lebih sempurna. Dari kesanggupan manusia membuat film rol yang
panjang, dan kemudian ditemukan bahan pembuat film aman (safety film)
yang terbuat dari selulosa-asetat yang rambat-nyalanya lambat, mulailah
dari fotografi manusia menjajaki sinematografi. Lalu film-film panjang
mulai dibuat dalam format 35mm. Dengan pengalihan produksi kamera yang
mulai mencari sasaran publik awam, disamping fotografi, juga
sinematografi mulai mencari penggemar amatir. Tahun 1923, Eastman Kodak
Company memperkenalkan kamera bioskop (movie camera) 16mm, dan pada
tahun 1923 lahir pula Cine-Kodak Eight, kamera-sine 8mm yang menggunakan
film format 16mm. dalam pemakaian, film terbagi menjadi dua jalur,
mula-mula dicahayai separuh, salah satu sisinya, setelah habis lalu
kumparan-isi harus bertukar tempat dengan kumparan kosong, dan film
dicahayai lagi pada sisi yang belum tercahayai. Film setelah diproses
lalu dibelah dua, kemudian disambungkan dan digulung ke kumparan untuk
diprojeksikan. Berkat George Eastman, dunia fotografi menjadi ‘mainan’
populer seperti sekarang ini. Maka guna mengenang jasa-jasanya, pada
tahun 1947 di Rochester, New York, kotanya perusahaan Eastman Kodak,
telah didirikan sebuah museum fotografi yang diberi nama “The George
Eastman House”. Di museum ini dipamerkan secara permanen “The Art of
Photography”, suatu perjalanan fotografi mulai daguerrotype hingga kini,
dan banyak benda-bendar bersejarah mengenai fotografi lainnya.
Singkatnya, semua hal yang berhubungan dengan penemuan fotografi
terdapat di dalam museum tersebut.
Oskar Barnack dan Leica Keinginan untuk menciptakan kepraktisan dan
keringkasan pada benda-benda yang dipakai manusia, bukan baru terjadi
pada zaman sekarang, seperti era peringkasan yang gencar dengan istilah
‘compact’ bagi produk kamera-kamera 35mm. di zaman pra fotografi 35mm
pun, hal serupa sudah terpikirkan, kendati belum terbumbui dengan
hal-hal yang bersifat ergonomik dan komfort. Oskar Barnack, seorang
karyawan pabrik kamera dan optik Leitz, ahli dalam bidang mekaini dan
kepala bagian produksi, juga seorang penggemar foto yang antusia, yang
merasakan betapa besar beban yang harus ditanggung oleh seorang
penggemar foto, setiap kali ia hendak melakukan perjalanan pemotretan,
karena yang namanya kamera waktu itu bukan hanya tak dapat digenggam
oleh kedua belah tangan atau digantungkan di pundak, melainkan untuk di
bawa seorang diri pun sudah sulit, karena kamera dan kakitiga menyatu,
sehingga harus dipanggul sedikitnya oleh dua orang, bila hendak
berpindah tempat. Karena alasan tersebut, timbullah suatu gagasan di
benak Oskar muda pada tahun 1912 : “Negatif kecil-foto besar”. Maka
kemudian ia mematangkan gagasannya dan sekaligus menyiapkan untuk
membuat suatu kamera yang ringan, kecil, mudah dibawa,bebas dari
kakitiga dan beban-beban lainnya. Sebenarnya Oskar Barnack selain
menjadi penggemar foto, juga adalah seorang pembuat film cerita. Dalam
bekerja, untuk mendapatkan pencahayaan yang baik dan tepat, biasanya ia
menjalankan kamera terisi film, dan menghabiskan bermeter-meter film
dengan bukaan diafragma beragam, lalu cepat-cepat film diproses, sekedar
untuk mengetahui bukaan diafragma berapa yang paling tepat. Sebagai
seorang pendesain, ia lalu berpikir, alangkah baiknya bila ia dapat
membuat sebuah kamera kecil yang dapat diisi film yang sama seperti
dipergunakan dalam kamera-cine besar. Maksudnya semula, kamera kecil itu
hanya akan dipergunakan dalam kamera-cine besar. Maksudnya semula,
kamera kecil itu hanya akan dipergunakan sebagai alat “pengukur cahaya”,
sebagai alat yang efektif juga ekonomis.
Akhirnya dengan persetujuan penuh majikannya, Dr. Ernst Leitz, ia
boleh mencurahkan segenap keahliannya untuk menciptakan kamera
angan-angannya itu. Menjelang akhir tahun 1913, terciptalah kamera
tersebut tanpa nama. Baru di awal tahun 1914, sebuah nama diberikan :
Leca. Nama yang diambil dari Leitz Camera. Film yang dipergunakan adalah
format 35mm, sama dengan yang dipakai pada kamera-cine. Walaupun semula
kamera tersebut diciptakan sebagai alat pengukur cahaya, tetapi setelah
rampung ia menrupakan suatu kamera yang cukup lengkap fasilitasnya.
Kebiasaan film berputar secara vertikal pada kamera-sine, pada Leca yang
kemudian dikukuhkan menjadi Leica diubah lintas geraknya menjadi
horisontal. Lalu format bingkai yang pada kamera-sine adalah 18x24mm,
pada Leica diperbesar dua kali lipat menjadi 36×24.
Pada prototipe Leica ini terdapat pelengkap-pelengkap serba baru,
ialah pemutar film yang sekaligus berfungsi sebagai pengokang rana, rana
celah yang dapat membuka dalam berbagai ukuran dan kaset sebagai
pelindung, dan wadah film yang dapat dikeluar-masukkan di tempat terang.
Ternyata kemudian, bahwa kepercayaan yang diberikan Ernst Leitz kepada Oskar Barnack merupakan awal dari perkembangan fotografi modern, dan gagasan ke perkembangan kamera yang lebih ringkas. Pada pemunculannya yang pertama di Leipzig Fair, Leica model A buatan tahun 1925 walaupun banyak menarik perhatian, namun tidak seorang pun menduga bahwa kelak akan meraih sukses begitu besar, dan memacu perkembangan fotografi 35mm dengan agresif sekali, dan meninggalkan rival-rival yang berformat besar jauh di belakangnya.
Ternyata kemudian, bahwa kepercayaan yang diberikan Ernst Leitz kepada Oskar Barnack merupakan awal dari perkembangan fotografi modern, dan gagasan ke perkembangan kamera yang lebih ringkas. Pada pemunculannya yang pertama di Leipzig Fair, Leica model A buatan tahun 1925 walaupun banyak menarik perhatian, namun tidak seorang pun menduga bahwa kelak akan meraih sukses begitu besar, dan memacu perkembangan fotografi 35mm dengan agresif sekali, dan meninggalkan rival-rival yang berformat besar jauh di belakangnya.
Foto langsung jadi/ Polaroid Pada tahun 1947, Edwin H. Land
memperkenalkan sistem fotografi baru yang disebut “instant photography”,
foto langsung jadi, diberi nama Polaroid. Kelahiran Polaroid ini amat
menggembirakan kalangan jurnalistik, terutama jurnalistik-foto, karena
suatu peristiwa yang baru saja terjadi, dapat segera dikirimkan ke surat
kabar, tanpa harus terlebih dahulu masuk ke kamar gelap. Maka
aktualitas foto berita menjadi sebanding dengan berita. Pada sistem
Polaroid, pada setiap lembar film dilengkapi juga dengan tabung berisi
bahan-bahan pengembangan. Film setelah tercahayai harus ditarik keluar
dari kamera, dan bersamaan dengan itu, tabung berisi pengembang pecah,
larutan pengembangnya menyebar ke permukaan film secara merata karena
harus lewat melalui rol-rol penekan. Selang 60 detik kemudian, di luar
kamera film selesai terproses dan sekaligus terfiksir, juga telah
tercetak ke atas kertasfoto yang sebelumnya menempel dengan negatifnya.
Kelemahan pada sistem polaroid ini adalah tidak terdapat negatif untuk
dicetak ulang atau dibesarkan fotonya, karena ‘negatif’ yang terbentuk
tidak transparan, juga rapuh, karena memang tidak diciptakan untuk
dipergunakan sebagai film negatif biasa.
Kamera Jepang Fotografi tumbuh di Eropa, berkembang di Amerika,
berbuah di Asia. Kalau kita perhatikan, memang perkembangan geografis
dunia fotografi cukup unik, walaupun perkembangan industri dan teknologi
lainnya juga hampir sama dengan itu. Tetapi khususnya mengenai
fotograf, setelah Perang Dunia ke-2, hanya dalam waktu sepuluh tahun
lebih, industri fotografi Jepang sudah mulai mengalahkan Eropa, sehingga
produk-produk fotografi, khususnya Jerman yang selama itu sudah amat
terkenal, misalnya Leica, Contax, Rolleiflex, Vogtlander, Bauer, Eumig,
dll, juga produk-produk Eropa lainnya secara berangsur-angsur namun
pasti mulai tersaingi oleh nama-nama baru dari Jepang, antara lain
Minolta, Konica, Canon, Nikon, Fuji, Pentax, Olympus, Yashica, Fujica,
dll. Maka kemudian beberapa industri fotografi melakukan merger,
misalnya Agfa dari Jerman dengan Gevaert dari Belgia, Ilford dari
Inggris dengan Ciba dari Jerman, Zeiss-Ikon dengan Voigtlander, dll.
Pada sekitar peralihan dekade tujuhpuluhan ke delapanpuluh, terjadi
penggabungan usaha antara Jerman dan Jepang : Leitz dengan Minolta,
Zeiss/Contax dengan Yashica. Sejak awal delapanpuluhan, industri
fotografi Asia mulai tumbuh juga di luar Jepang, umumnya semua berkat
bantuan langsung maupun tak langsung dari Jepang juga. Paling dulu
India, lalu Korea, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Indonesia, Malaysia,
Cina. Di negara-negara tersebut, yang dipacu erutama adalah industri
kamera.
Tipe film yang pertama adalah film Daylight atau film cerah hari, yang digunakan untuk memotret obyek-obyek yang sumber pencahayaannya berasal dari cahaya alam atau matahari, atau cahaya buatan yang kualitas cahayanya sebesar 5.500 derajat Kalvin.
Tipe film yang kedua adalah film Tungsten atau yang biasa digunakan untuk memotret obyek-obyek yang sumber pencahayaannya berasal dari cahaya buatan seperti lampu pijar atau lampu neon.Disebut sebagai film Daylight karena film ini mempunyai emulsi yang mempunyai derajat minimum kepekaan sinar atau cahaya sebesar 5.500 derajat Kalvin, sedangkan disebut sebagai film Tungsten karena film ini mempunyai derajat kepekaan sinar atau cahaya dibawah 3.200 derajat Kalvin.
Sedang berdasarkan jenisnya, film dibagi menjadi lima macam, yaitu:
Film negatif hitam-putih
Film negatif warna
Film positif warna (reversal / color slide)
Film x-ray
Film instan
Berdasarkan tingkat kepekaannya terhadap cahaya, film terbagi dalam empat macam, yaitu:
Film dengan tingkat kepekaan lamban
Film dengan tingkat kepekaan sedang
Film dengan tingkat kepekaan tinggi
Film dengan tingkat kepekaan sangat tinggi
Sedangkan kepekaan suatu film, ditandai dengan besar kecilnya angka ASA / ISO yang antara lain sebagai berikut:
ASA 25 – 64 untuk film dengan tingkat kepekaan rendah
ASA 100 – 200 untuk film dengan tingkat kepekaan sedang
ASA 400 – 800 untuk film dengan tingkat kepekaan tinggi
ASA 1600 – ~ untuk film dengan tingkat kepekaan sangat tinggi
Di Indonesia, film yang popular dan paling banyak digunakan oleh masyarakat pada saat ini adalah film yang ber ASA 200 (untuk film negatif warna).
Karakter Film
Dulu, sebelum tahun 1990, ada hukum yang berlaku di fotografi yaitu,
semakin rendah tingkat ASA sebuah film, maka film tersebut pasti
mempunyai butiran halida (grain) yang halus. Sedangkan tingkat ASA
sebuah film yang tinggi mempunyai butiran halida yang kasar. Namun sejak
tahun 1997 yang lalu, besarnya angka ASA film (misalnya ASA 200 hingga
ASA 800) tidak lagi dapat diartikan bahwa film tersebut butiran
halidanya kasar, sebab teknologi fotografi yang berkembang saat ini
seperti misalnya teknologi yang ditemukan Fujifilm (Sygma Crystal dan
DIR Coupler) sangat memungkinkan untuk memproduksi film yang ber ASA
tinggi namun punya grain yang sangat halus.
Best Regards,Jeremia David
sumber: http://jedaphotography.wordpress.com/2008/11/18/sejarah-fotografi/