SELAMAT DATANG DI FORUM BELAJAR DAN KELUARGA ( Muhammad Nasir )

Sabtu, 01 November 2014

Norma dan Hukum Adat Suku Bugis

               This is Bahasa Indonesia version of Norms and Customary Law of Bugis.

           Setiap suku bangsa memiliki adat tersendiri yang merupakan pencerminan kepribadian dan penjelmaan dari jiwa bangsa itu sendiri. Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa yang berlangsung turun temurun dari abad ke abad. Setiap bangsa di dunia tentu memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri, yang berbeda satu dengan yang lainnya sehingga ketidaksamaan inilah yang memberikan identitas antara bangsa yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula bangsa Bugis yang juga memiliki tatanan hukum adat dalam menjalani kehidupannya.
Adat diibaratkan sebagai sebuah pondasi yang kukuh. Kehidupan modern pun tidak mampu melengserkan adat dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Adat dapat mengadaptasikan diri dengan keadaan dalam proses kemajuan zaman sehingga adat itu tetap kekal dan tegar menghadapi tantangan zaman.
Hukum adat merupakan suatu tatanan hidup masyarakat yang kemudian menjadi hukum yang tidak tertulis, berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta memperlancar proses interaksi dalam masyarakat tersebut. Walaupun demikian, adat tetap dipatuhi berdasarkan atas keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Dengan kata lain, hukum adat mempunyai fungsi manfaat dalam pembangunan (hukum) karena:
1.      Hukum adat merumuskan keteraturan perilaku mengenai peranan
2.      Perilaku-perilaku dengan segala akibat-akibatnya dirumuskan secara menyeluruh
3.      Pola penyelesaian sengketa yang kadang bersifat simbolis
Dahulu, dikalangan bangsa Bugis Bone dikenal hukum adat dengan istilah “Malaweng”. Dari berbagai sumber yang diperoleh penulis, Hukum Adat Malaweng itu terdapat tiga tingkatan, yaitu :
1.      Malaweng tingkat pertama (Malaweng Pakkita), yakni sesesorang yang melakukan pelanggaran melalui pandangan mata. Misalnya, menatap sinis kepada orang lain, menatap tajam laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya dan lain sejenisnya.
2.      Malaweng tingkat kedua (Malaweng Ada-ada), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran melalui kata-kata yang diucapkan. Misalnya, berkata yang tidak senonoh kepada orang, membicarakan aib orang lain, berkata sombong dan angkuh, berkata kasar kepada lawan bicaranya, dan lain sejenisnya.
3.      Malaweng tingkat ketiga ( Malaweng Kedo-kedo), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran karena perbuatan tingkah laku. Misalnya, laki-laki melakukan hubungan intim dengan perempuan adik atau kakak kandungnya sendiri, membawa lari anak gadis (silariang), melakukan hubungan intim dengan ibu/ayah kandungnya sendiri, menghilangkan nyawa orang lain, mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan yang punya, dan lain sejenisnya.
Dahulu, khusus dalam hal kawin mawin dengan saudara kandungnya sendiri atau ayah/ibu kandungnya sendiri tergolong pelanggaran-pelanggaran adat yang paling berat karena apabila hal ini terjadi maka keduanya baik laki-laki maupun perempuan mendapat hukuman dengan cara “Riladung” yakni keduanya dimasukkan ke dalam sebuah karung yang diikat dengan tali kemudian ditenggelamkan ke dasar laut dengan menggunakan alat pemberat batu. Dahulu, salah satu tempat eksekusi yang ada di Bone adalah Kawasan Tanjung Pallette yang berjarak 12 km dari kota Watampone sekarang ini. Keduanya dinaikkan kesebuah perahu kecil dan dibawa ke arah timur sejauh 3 km dari pantai Tanjung Pallette kemudian ditenggelamkan ke laut.
Masyarakat suku Bugis, sebagaimana masyarakat lainnya di Propinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, merupakan pemeluk Islam yang taat, kehidupan mereka selalu diwarnai oleh keadaan yang serba religius. Kondisi ini ditunjukkan oleh banyaknya tempat-tempat ibadah dan Pendidikan Agama Islam.
Sekalipun masyarakat suku Bugis mayoritas memeluk agama Islam, namun di kota Watampone juga ada gereja dan beberapa tempat ibadah pemeluk agama lainnya. Hal ini berarti, pemeluk agama lain cukup leluasa untuk menunaikan ibadahnya. Keadaan ini memberikan dampak yang positif terhadap kehidupan keagamaan, karena mereka saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lainnya. Di samping itu, peran pemuka agama terutama para alim ulama sangat dominan dalam kehidupan keagamaan. Bahkan bagi masyarakat suku Bugis, alim ulama merupakan figur kharismatik yang menjadi panutan masyarakat.
Adapun mengenai pengembangan kebudayaan, saat ini suku Bugis berupaya untuk membina nilai-nilai budaya daerah sebagai bagian dari budaya nasional dengan berdasarkan pada penerapan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal masyarakat suku Bugis. Salah satu bentuknya adalah memfasilitasi terbentuknya Lembaga Adat “Saoraja” sebagai mitra dalam hal pelestarian nilai-nilai adat dan budaya luhur serta pengembangan kebudayaan.
Suku bangsa Bugis yang mendiami pulau Sulawesi bagian Selatan juga mempunyai norma yang disebut “PANCANORMA”  yakni terdapat 5 (lima) butir norma yang menjadi salah satu unsur pembeda dari sejumlah suku bangsa yang ada.
Konsep Pancanorma (Pangngadereng) ini lahir sejak abad ke-16 yaitu pada masa pemerintahan Raja Bone ke-6 (1543-1568). Pada masa itu terdapat seorang cendekiawan Bugis yang bernama Lamellong. Karena kemampuan berpikir yang dimilikinya, Raja memberinya gelar Kajaolalliddong” yaitu cendekiawan atau orang cerdik pandai dari sebuah kampung yang bernama Lalliddong di wilayah kerajaan Bone. Sang Kajaolah yang melahirkan “Konsep Pangngadereng” yang hingga kini masih dipegang teguh oleh suku bangsa Bugis. Pokok-pokok pikiran tentang hukum dan ketatanegaraan yang beliau ciptakan menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan. Dalam lintas perjalanan Kerajaan Bone dilukiskan, betapa besar jasa Lamellong dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone, Soppeng, dan Wajo, dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan pembangunan kerajaan. Ikrar ini dikenal dengan nama “Lamumpatue ri Timurung tahun 1582 pada masa pemerintahan La tenri Rawe BongkangngeE raja Bone ke-7 (1568-1584). Dalam ikrar itu ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE (Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng), dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah batu.
Pokok-pokok pikiran Lamellong yang dianjurkan kepada raja Bone ada empat hal, yakni:
1.      Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;
2.      Tidak memejamkan mata siang dan malam;
3.      Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan
4.      Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.
Implementasi pokok-pokok pikiran sebagai unsur perekat dalam menjalankan aktivitas pemerintahan di atas adalah:
1.      Siattinglima, yakni bergandengan tangan
2.      Sitonraola, yakni kesepakatan melalui musyawarah
3.      Tessipano, yakni tidak saling menjatuhkan
4.      Tessibelleang, yakni tidak saling menghianati
Tiga faktor utama yang ditekankan Kajao dalam pelaksanaan pemerintahan di atas merupakan ciri demokratisasi yang membatasi kekuasaan raja, sehingga raja tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan norma yang telah ditetapkan. Dalam pembatasan kekuasaan di Lontara’ disebutkan, bahwa Arung Mangkau (raja) berkewajiban untuk menghormati hak-hak orang banyak. Perhatian raja harus sepenuhnya diarahkan kepada kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah dipercayakan kepadanya.
Berdasarkan dari berbagai pokok-pokok pikiran Kajaolalliddong di atas maka kelima butir Pangngadereng (Pancanorma) yang dimaksud adalah:
1.      Ade
2.      Bicara
3.      Rapang
4.      Wari
5.      Sara
ADE’
Ade merupakan komponen pangngaderen yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain:
1.      Ade’ pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk diubah.
2.      Ade’ Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
3.      Ade’ Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
BICARA
Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.
RAPANG
Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.
WARI
Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.
SARA
Sara adalah suatu sistem yang mengatur dimana seorang raja dalam menjalankan roda pemerintahannya harus bersandar kepada Dewatae (Tuhan yang Maha Esa)
Dengan demikian, itulah ajaran Kajao Lalliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun komunitas dalam wilayah kerajaan. Dengan ditambahkannya komponen sara di atas menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao ini selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaan-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan.
Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep “Pangngadereng” ini menumbuhkan suatu wahana kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat Bugis di berbagai pelosok nusantara. Bahkan ajaran Kajao Lalliddong ini telah memberi warna tersendiri pada peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami nusantara ini.
Itulah kelima butir tatanan dalam konteks kesukuan bagi suku bangsa Bugis yang menjadi dasar dalam menjalankan roda pemerintahan Raja-Raja Bone sejak abad XVI pada masa pemerintahan Raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) yang selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaa-kerajaan Bugis.
Berdasarkan Konsep Pancanorma di atas maka dikalangan suku bangsa Bugis lahirlah istilah “Paseng dan Pangaja”. Paseng (Petuah) adalah sesuatu pesan yang berlaku pada masa dulu, kini, dan akan datang. Sedang Pangaja (Nasihat) adalah suatu pesan yang lahir setelah seseorang melakukan perbuatan yang dianggap bertentangan dengan norma yang berlaku. Paseng atau petuah yang dimaksud adalah:
1.      Lempu / Kejujuran : Pahit dan getir
2.      Getteng / Prinsip
3.      Sipakatau / Manusiawi
4.      Mappesona ri Dewatae / Bersandar kepada Allah
Selain Malaweng dan Pancanorma, hubungan kekerabatan dan stratifikasi sosial juga merupakan hal yang penting dalam hukum adat masyarakat Bugis. Dalam masyarakat manapun, hubungan kekerabatan merupakan aspek utama, baik karena dinilai penting oleh anggotanya maupun fungsinya sebagai struktur dasar dalam suatu tatanan masyarakat. Pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat diperlukan guna memahami apa yang mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat yang dianggap paling penting oleh orang Bugis dan yang saling berkaitan dalam membentuk tatanan sosial mereka.
Pada umunya orang Bugis mempunyai sitem kekerabatan yang disebut dengan assiajingeng, yaitu sistem yang mengikuti lingkungan pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. Garis keturunan berdasarkan kedua orang tua. Hubungan kekerabatan ini menjadi sangat luas karena selain ia menjadi anggota keluarga ibu, ia juga menjadi anggota keluarga dari pihak ayah. Hubungan kekerabatan atau assiajingeng ini dibagi atas siajing maréppé (kerabat dekat) dan siajing mabéla (kerabat jauh). Kerabat dekat atau siajing maréppé merupakan kelompok penentu dan pengendali martabat keluarga. Anggota keluarga dekat inilah yang menjadi to masiri’ (orang yang malu) bila anggota keluarga perempuan ri lariang (dibawa lari oleh orang lain), dan mereka itulah yang berkewajiban menghapus siri’ tersebut. Anggota siajing maréppé didasarkan atas dua jalur, yaitu réppé maréppé yaitu keanggotaan yang didasarkan atas hubungan darah, dan siteppang maréppé (sompung lolo) yaitu keanggotaan didasarkan tas hubungan perkawinan. (Makkulau, 2006).
Adapun anggota keluarga yang tergolong réppé maréppé yaitu:
1.      Iyya, Saya (yang bersangkutan)
2.      Indo’ (ibu kandung iyya)
3.      Ambo’ (ayah kandung iyya)
4.      Nene’ (nenek kandung Iyya baik dari pihak ibu maupun dari ayah
5.      Lato’ (kakek kandung Iyya baik dari ibu maupun dari ayah)
6.      Silisureng makkunrai (saudara kandung perempuan Iyya )
7.      Silisureng woroané (saudara laki-laki iyya)
8.      Ana’ (anak kandung iyya)
9.      Anauré (keponakan kandung iyya)
10.  Amauré (paman kandung iyya)
11.  Eppo (cucu kandung iyya)
12.  Inauré / amauré makkunrai (bibi kandung iyya)
Sedangkan anggota keluarga yang termasuk siteppang maréppé yaitu:
1.      Baine atau indo’ ‘ana’na (istri iyya)
2.      Matua (ibu/ayah kandung istri)
3.      Ipa woroané (saudara laki-laki istri iyya)
4.      Ipa makkunrai (saudara kandung perempuan istri iyya)
5.      Manéttu (menantu, istri atau suami dari anak kandung iyya)
Lapisan sosial tradisional masyarakat Bone membedakan status menurut kadar arungnya (keturunan). Ukuran yang digunakan adalah soal asal keturunan sebagai unsur primer. Oleh karena itu perlu dibedakan dahulu jenis-jenis keturunan yang terdapat di Kabupeten Bone secara umum dibagi atas beberapa golongan, yaitu:
1.      Ana’ mattola: yang berhak mewarisi tahta dan dipersiapkan untuk menjadi raja arung (raja/ratu). Tingkatan ini terbagi atas dua sub golongan yakni: ana’ sengngeng dan ana’rajéng.
2.      Ana’ céra’ siseng/I: anak yang beradarah campuran atas kedua sub di atas yang kawin dengan perempuan biasa.
3.      Ana’ céra’ dua/II: anak hasil perkawinan céra’ siseng dengan perempuan biasa.
4.      Ana’ céra’ tellu/III: anak hasil perkawinan céra’ dua dengan perempuan biasa. Ketiga lapisan cerak ini menduduki golongan bangsawan menengah. Kemudian céra’ tellu ini dengan perempuan biasa akan menghasilkan bangsawan terendah. Ampo cinaga, anakkarung maddara-dara, dan anang.
5.      Tau sama (orang biasa)/tau maradéka (orang bebas): di kalangan ini masih dibedakan atas keturunan leluhirnya yang masih terhitung bangsawan, betapapun rendahnya lapisan dan berapa jauhpun pertautannya (tau tongeng karaja) dan yang benar-benar keturunan orang biasa (tau sama mattanété lampé).
6.      Ata (hamba sahaya): golongan yang hilang kemerdekaannya karena sesuatu ikatan langsung.
Meskipun penggolongan keturunan tersebut hanya bertahan sampai pada masa kemerdekaan, namun penggolongan keturunan tersebut sekarang ini tidak lagi dianut secara ketat, namun dalam berbagai hal, utamanya dalam kehidupan sosial kadangkala masih dipertanyakan, misalnya dalam hal meminang gadis, maka yang dipertanyakan adalah keturunan.
 
DAFTAR PUSTAKA
·         Soekanto, Soerjono. 1981. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada

2 komentar: